BIOGRAFI SYEIKH ABDURRA’UF AS-SINGKILY



BIOGRAFI SYEIKH ABDURRA’UF AS-SINGKILY

            Nama lengkap Abdurra’uf adalah Syeikh Abdurra’uf Bin Ali Al-Jawi. Al-Fansuri As-Singkily. Menurut Rinkes dalam disertainya yang berjudul “Abdoerraoef Van Singkil . syeikh Abdurra’uf As-Singkily lahir di Suro, Aceh Singkil sekitar Tahun 1615 M atau 1024 H. Rinkes memperkirakan tahun itu setelah menghitung mundur berdasarkan tahun kembalinya dari Arab. Beliau telah merantau di tana Arab selama 19 tahun dan idealnya (pada umumnya) seseorang merantau pada usia muda (24-30 tahun). Tahun berapa persisinya beliau lahir sampai saat ini masih menjadi pertanyaan yang tak terjawab. Para ahli berbeda pendapat karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal itu, namun tentang kelahirannya dapat dipastikan adalah di Aceh Singkil. Salah satu data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Syeikh Abdurra’uf adalah sebutan namanya Abdurra’uf As-Singkily yang berarti Abdurra’uf dari Singkil (Aceh Singkil), dapat dipastikan Beliau memang lahir di Aceh Singkil.
            Syeikh Abdurra’uf As-Singkily ditakdirkan Allah berasal dari keluarga Muslim yang taat beribadah. Ayahnya keturunan Persia atau Arabia yang bernama Syeikh Ali Al-Fansuri dan ibunya berasal dari Desa di Fansur Barus, sebuah pelabuhan (Bandar) yang sangat terkenal waktu itu. Menurut Ali Hasmy, Fansur Barus itu adalah suatu kampung yang terletak antara kota Singkil dengan Gosong Telaga (Kecamatan Singkil Utara, sekarang). Ketika masih kanak – kanak beliau sudah bisa membaca, menulis, dan mengaji Al-qur’an. Dimasa mudanya Syeikh Abdurra’uf As-Singkily belajar di Dayah Suro, Lipat Kajang, Simpang Kanan, Singkil yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke barus di Dayah Tengku Chik. Ia sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi yang dipimpin Oleh Syeikh Samsuddin As-Sumatrani.
MERANTAU KE ARAB SAUDI
            Kemudian Syeikh Abdurra’uf As-Singkily mengembara meninggalkan Kota kelahirannya untuk menuntut ilmu di berbagai pelosok Nusantara dan Timur Tengah. Sebelum berangkat ke luar negeri Syeikh Abdurra’uf As-Singkily pernah mengaku jabatan sebagai imam merangkap khatib di masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Syeikh Abdurra’uf As-Singkily selalu merasa haus Ilmu Pengetahuan. Selama 19 tahun beliau merantau ke Mekkah, Madinah, Yaman, dan Turki. Beliau kembali ke Aceh pada tahun 1661 M. Saat itu suasana keagamaan di Aceh telah kacau akibat pertentangan dua Ulama besar, yaitu Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa paham Wujud (Wujudiyah) dengan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry yang berpaham Isnainiyatul Wujud. Enggan terlibat dalam pertentangan itu, saat tiba di Bandar Kerajaan Aceh, Syeikh Abdurra’uf As-Singkily menyamar sebagai nelayan sehingga orang tidak ada mengenalnya. Masyarakat disekitar pelabuhan dan pesisir Kerajaan Aceh hanya mengenal Syeikh Abdurra’uf As-Singkilysebagai pawang pukat, namun itu tidak berlangsung lama, lambat laun masyarakat mengenal Syeikh Abdurra’uf As-Singkily yang menyamar itu sebagai ulama, Sufi, dan Filsuf serta ahli tata negara.
MASA SULTHANAH SYAFIATUDDIN TAJUL ALAM
            Syeikh Abdurra’uf As-Singkily pernah menjadi Mufti (Penasehat Agung) Kerajaan Aceh Pada masa Sulthanah Syafiatuddin Tajul Alam pengaruhnya sangat penting di Kerajaan Aceh saat itu, sehingga pada masa itu ada ungkapan yang berbunyi “adat bak poteu mereuhon, hukom bak Syah Kuala” maksudnya “adat dibawah kekuasaan raja, sementara hukum di bawah Syiah Kuala”, ungkapan ini menjelaskan betapa besarnya peranan dan pengaruh Syeikh Abdurra’uf As-Singkily dalam pemerintahan kala itu yang hampir sama dengan kekuasaan raja. Ia memegang peranan penting dalam menentukan hukum Islam. Sang raja belum berani berbuat sesuatu menyangkut dengan persoalan hukum sebelum mendapatkan persetujuannya. Adat bak poteu mereuhon, hukom bak Syah Kuala yang menjadi kepribadian atau ciri khas rakyat Aceh adalah bersumber ajaran Islam, yang antara lain di ilhami oleh sebuah hadist yaitu, “ada dua golongan dalam masyarakat manusia, apabila keduanya baik, berbahagialah manusia, dan apabila keduanya jahat sengsaralah manusia, mereka itu adalah ulama dan umara”. (HR. Ibnu Abbas).
            Sulthanah Syafiatuddin Tajul Alam adalah salah seorang sultan yang termasyhur setelah sultan Iskandar Muda. Dalam masa pemerintahannya banyak tantangan yang dihadapi terutama adanya pihak – pihak yang berpendapat bahwa wanita tidak dibenarkan untuk menjadi sultan. Syeikh Abdurra’uf As-Singkily membantah pendapat itu dan mengatakan bahwa seorang wanita bisa saja menjadi sultan dan ini sesuai dengan ajaran Islam yang dikembangkan. Berkat kerja sama yang baik antara sulthanah Syafiatuddin Tajul Alam dengan Syeikh Abdurra’uf As-Singkily Aceh Menjadi aman dan tentram, dan mengalami kemajuan dibidang agama dan kebudayaan.
            Syeikh Abdurra’uf As-Singkily menguasai banyak bahasadiantaranya : Bahasa melayu, Arab, Aceh, dan Persia. Beliau sangat terkenal dengan pemikirannya, sejak kecil ia sudah mempelajari ilmu – ilmu “Zahir”, seperti : Tata Bahasa Arab, Membaca Al-Qur’an, Tafsir, Hadist, Filsafat, Geografi, Ilmu Falak, Sejarah dan Ilmu Pengobatan. Ia pun sempat mempelajari ilmu “Batin” seperti Ilmu Tassawuf dan Tarekat. Kemasyhurannya dalam penguasaan dua bidang ilmu tersebut melahirkan banyak karya – karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai. Syeikh Abdurra’uf As-Singkily memepunyai kemampuan dalam menyusun dan merumuskan hukum – hukum Islam dengan penuh kesadaran. Syeikh Abdurra’uf As-Singkily juga ahli dalam pembuatan saluran(kanal). Beliau dengan murid – murid nya telah membuat saluran (kanal) yang menghubungkan sungai (krueng) Aceh dengan Ulee Lheue yang masih sekarang dapat dilihat sampai sekarang.
            Nama Syeikh Abdurra’uf As-Singkily sangat terkenal terutama dikalangan sarjana – sarjana asal belanda bernama Prof. A. Meursinge dari Konnin Klijkke Academic Deleft dalam tahun 1884 menulis sebuah buku tangan berjudul “Handbook Van Het Mohammadan Scheregt” yang berisi karya Syeikh Abdurra’uf As-Singkily. Sarjana asal Belanda lainnya yang mendalami tentang Syeikh Abdurra’uf As-Singkily adalah Dr. D. A. Rinkes, yang dalam tahun 1909 berhasil menyusun disertai untuk mendapatkan gelar Doktor dengan judul “Abdoerraoef Van Singkil, De Kennis Van De Mystiek Of Sumatera EN Java”. Karena banyak kalangan yang terkesan dengan disertai ini maka dijadikan buku yang tebalnya 130 halaman. Pada saat itu nama Syeikh Abdurra’uf As-Singkily menjadi harum dan populer sehingga banyak sarjana dari luar dan dalam negeri merujuk pada karya – karya beliau.
            Ketertarikannya pada ilmu pengetahuan membawa Syeikh Abdurra’uf As-Singkily berangkat ke tanah Arab untuk belajar agama selama 19 tahun. Beliau mengunjungi dan belajar di pusat pendidikan dan pengajaran islam di Turki, Madinah, Yaman, dan Mekkah. Kemudian beliau bermukim di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam dan secara khusus juga belajar Tassawuf. Kembali ke Aceh pada tahun 1661 M, beliau mengajarkan dan mengembangkan Tharekat Syatariyah. Tharekat ini muncul pertama kali di India pada abad 15 M. Syeikh Abdurra’uf As-Singkily dinilai sebagai tokoh yang cukup berperan dalam mewarnai sejarah Tassawuf di Indonesia.
            Sebagai ulama Tassawuf Syeikh Abdurra’uf As-Singkily tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Tharekat Syatariyah. Hampir semua Ordo Tharekat Syatariyah di Indonesia silsilahnya berujung pada Syeikh Abdurra’uf As-Singkily. Tharekat ini tersebar mulai dari Aceh hingga ke Sumtera Barat kemudian ke Cirebon dan Nusantara.
            Syeikh Abdurra’uf As-Singkily dikenal sebagai salah satu ulama produktif, Sufi, dan Filsuf. Karyanya banyak, pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan agama Islam di Aceh dan Nusantara. Karena itu adalah sangat tepat kalau untuk menghormati jasa – jasanya maka pada tanggal 02 Spetember 1961, namanya diabadikan menjadi nama Universitas Negeri pertama di Aceh, Universitas Syiah Kuala (unsyiah).
           

Tidak ada komentar: